Minggu, 07 Agustus 2011

SEK part 2 : Sebuah Proses untuk Idealisme Tumbuh

Sebentar lagi, hari ulang tahun kemerdekaan negaraku, Indonesia. Dan hari itu, lagi-lagi bebarengan dengan bulan penuh berkah, Bulan Suci Ramadhan. Dimana seluruh umat muslim diwajibkan untuk berpuasa.
Di desaku, aku tidak pernah absen untuk mengikuti lomba-lomba yang di adakan oleh kakak-kakak karang taruna. Sikap ambisius yang masih sewajarnya, sedikit banyak tertanam dalam jiwaku. Jadi, sudah pasti aku ingin memenangkan setiap lomba yang aku ikuti. Tapi itu dulu, sewaktu aku masih kecil.
Beranjak dewasa, aku pun tetap tidak pernah absen mengikuti tradisi lomba yang ada. Bukan hanya sebagai peserta lomba, tapi juga sebagai relawan yang mengabdi untuk bangsa sebagai penerus tradisi dengan mengonsep dan tetap mengadakan lomba itu. Tapi kali ini, yang tercamkan dalam benakku bukan lagi ambisi meraih kemenangan, tapi bagaimana agar perlombaan itu meriah dan setiap kepala turut berpartisipasi memeriahkan event tahunan tersebut. Karena sebenarnya yang diajarkan oleh leluhur kita dengan menurunkan tradisi seperti itu adalah satu, nilai kebersamaan.
Namun, dua tahun ini, tradisi meriah yang aku tunggu-tunggu itu tidaklah lagi dijalankan. "Belum diadakan lagi,  masih bertepatan dengan Bulan Ramadhan." kata Bapak Ketua RTku pada saat aku menanyakan penyelenggaraan perlombaan. Aku sedih dan kemudian timbul pertanyaan,
"Apa mengenang Hari Kemerdekaan itu hanya dengan mengadakan lomba-lomba? Lantas kalau begitu, setelah kejadian seperti ini, yang harinya bebarengan dengan Bulan Suci Ramadhan, Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI tak ada artinya lagi bagi Rakyat Indonesia?
Tidak, jangan sampai itu terjadi!"

Memiliki idealisme seperti ini, menghargai negaraku sendiri, butuh sebuah proses. Tidak dari kecil aku bisa tiba-tiba tersulap menjadi seperti ini. Tabu kah aku berbicara seperti ini?
Tapi tenang, I'm not that rigid kok. Aku memang idealis, tapi idealis yang demokratis. Aku diajarkan oleh ibuku untuk tidak lagi menumbuhkan sikap egoisku.
"Cukup, ini Indonesia adhit." kata beliau.
Mandi pagi tadi, entah mengapa, aku mengingat-ingat proses tumbuhnya jiwa nasionalisme dalam diriku. Bukan begitu saja tertanam, tapi melalui banyak sekali proses. Dan tanpa sadar, sering aku memutuskan suatu hal, sering pula aku menyadari bahwa segala sesuatunya menakdirkan aku untuk lebih menghargai negeriku.

Biarkan aku menguraikannya perlahan-lahan. Karena aku sudah berjalan sejauh ini, dan susah untuk mengingatnya satu per satu.

Sebenarnya, jiwa ini bisa lebih leluasa mengembangkan sayapnya ketika aku telah duduk di bangku kuliah. Jadi, banyak hal yang lebih aku eksplor saat menginjak bangku kuliah ini. Walau sebenarnya ada pupuk-pupuk yang sudah ikut ditanamkan saat aku ikut seleksi program pertukaran pelajar semasa SMA. Meski tidak lolos, tapi ada nilai-nilai penting yang tertanam dan membekas sampai saat ini bahwa,
Budaya Indonesia itu ga terhitung banyaknya kalau kamu tahu. Dan sebagai orang Indonesia, apa yang akan kamu lakukan untuk mengabdi kepada bangsa ini kalau budayanya saja kamu belum mengenalinya.


Disamping itu, aku mengikuti ekskul paskibra saat SMA. Saat menginjak kelas 1, aku masuk ekskul itu untuk alasan yang bahkan aku sendiri tidak mengetahuinya. Aku bela-belain waktu itu mencari tanda tangan-tanda tangan senior dari yang mukanya manis sampai yang asem. Dan kebanyakan dari mereka adalah orang yang tadinya mengospekku saat tiga hari pertama masuk sekolah. Itupun aku trabas dengan mengabaikan rasa takut dan sungkan. 
Saat aku ditanya, "Apa motivasi kamu ikut paski adith?" 
Tak ada jawaban tetap yang aku beri antara satu senior dengan senior yang lain. Hanya saja, saat menjawab aku mengerutkan kening, mata berkaca-kaca dan nada yang berapi-api sebagai tanda aku bersungguh-sungguh mengikutinya. Padahal kalo orang jawa bilang itu, neges (sok-sokan).
Begitu juga saat aku menginjak bangku kelas 2, aku masih dengan setia mengikuti ekskul itu walau banyak cemoohan kanan dan kiri. Karena saat itu ekskul paski identik sekali dengan bentak-bentakan untuk melatih mental. Tapi bentakan-bentakan itu bukan tanpa alasan. Supaya kami lebih bersungguh-sungguh berlatih dan berkoordinasi karena pbb bukan sendiri. Namanya aja pelatihan baris-berbaris. Kan sudah diajari di sekolah bahwa pengulangan kata baris-berbaris mengartikan individu yang lebih dari satu.
Saat itu, aku mengikuti beberapa lomba. Yang paling membekas adalah saat perlombaan yang diadakan PPI (Purna Paskibra Indonesia), yang diadakan dua tahun sekali.
Momen itu benar-benar mengenalkanku pada tempat-tempat bersejarah yang ada di Surabaya melalui lomba Jelajah Kota. Kok kebetulan sekali aku yang waktu itu ditunjuk senior untuk mengikuti lomba jelajah kota mengendarai sepeda mengelilingi surabaya, bukan lomba PBBnya. Dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Aku suka sekali menjelajah!
Sampai kemudian, aku lulus SMA dan memutuskan untuk meneruskan takdirku di jurusan Arsitektur ITS.
Di situ, aku mulai mengerti, mengikuti eksul paskibra, adalah salah satu hormatku pada negaraku dan pusakanya, bendera merah putih.

Lantas, apa hubungannya dengan dunia perkuliahanku? 
Karena arsitektur berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, dan arsitektur dekat, di sekitar kita. Arsitektur memaknai sesuatu yang mungkin terkadang orang lain menganggap itu tidak bermakna apa-apa. Dan mengenali filosofi dan sejarah, langkah yang pertama kulakukan untuk membuat sesuatu yang lebih dari sekedar bermakna. Dari situ, aku lebih menghargai segala sesuatunya.
Terlebih, hidupku.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar